Nyepi dan “Perang” Melawan Ego Sosial

Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1944 akan jatuh pada “penanggal pisan” (tanggal satu) sasih “kedasa” (10) atau tepatnya sehari sesudah “tilem” (bulan mati) “kesanga” (sembilan) sesuai dengan perhitungan kalender Saka. Pada kalender masehi, Nyepi jatuh pada 3 Maret 2022 mendatang. Umumnya, umat Hindu di seluruh Indonesia merayakan Nyepi dengan semarak. Hiruk pikuk ritus Nyepi akan dirasakan sejak “melasti” atau ritual mengiring pratima/arca ke laut hingga tuntas pada “ngembak geni” yang dimaknai menjaga api persaudaraan sesama manusia (sosiologis).
Perayaan Nyepi tahun ini ternyata tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Nyepi di masa pandemi COVID-19 tak memberikan keleluasaan gerak umat Hindu dalam hal mengespreksikan laku spiritualnya dalam ritus keberagamaan. Salah satu yang mendapatkan sorotan di media sosial adalah kebijakan pelarangan pawai ogoh-ogoh saat “pengerupukan” atau sehari menjelang Nyepi. Hal tersebut dilontarkan oleh Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet yang menilai bahwa kondisi COVID-19 belum dalam kondisi melandai dan masih mengalami peningkatan kasus ekstrem (antaranews bali, 15/2/2/2022). Pun akhirnya, kebijakan tersebut akhirnya berubah dua hari kemudian (17/2) setelah muncul pernyataaan dari Gubernur Bali Wayan Koster yang menyatakan bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melaksanakan pawai/pengarakan ogoh-ogoh. Namun, hanya pada tingkat banjar (dusun) saja.
Ramai dan riuh pembahasan ogoh-ogoh menjelang nyepi pada berbagai lini masa media sosial (medsos) ternyata tidak sebesar keinginan dan hasrat pengguna (netizen) dalam upaya memaknai nyepi secara lebih dalam (kontemplatif). Masyarakat kita ternyata memang lebih suka hal friksi bercampur “framing” sensasi dibandingkan hal yang lebih mengandung urgensi “substansi”.
Masyarakat medsos tampaknya telah terbiasa mengesampingan faktor itu (substansi) dengan hal remeh temeh. Mengutip dari Edy M Yakub (antaranews, 28/2) bahwa dunia maya memang lebih banyak melakukan “framing” (memberi bingkai) untuk fokus pada hal-hal tidak penting/benar. Adapun substansi sesungguhnya akan menjadi jauh. Keadaan di “kampung maya” akan berbusa-busa masalah contoh. Berbeda dengan keadaan di dunia nyata yang kadang terlihat jauh berbeda.
Bagaimana sebenarnya umat Hindu memaknai Nyepi? Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), lembaga/majelis tertinggi umat Hindu di tanah air menyatakan bahwa dalam konteks religius, nyepi merupakan proses penyucian “bhuwana Agung” (alam semesta) dan “bhuwana alit” (diri manusia) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (www.phdi.or.id).
Selain itu, pada aspek sosial budaya, nyepi dapat dimaknai sebagai wahana integrasi umat, terlihat saat umat Hindu bersama-sama melaksanakan setiap derap langkah keberagamaan dalam bingkai upakara (ritual). Selanjutnya, aspek tata susila (etika), nyepi dimaknai sebagai laku kerja sesuai dengan teks dalam susastra Hindu dimana melalui kerja yang baik (subha karma), manusia akan dapat menolong dirinya sendiri dari “samsara” atau kelahiran berulang-ulang menuju alam pembebasan (moksa).
Mari kita telusuri makna Nyepi secara lebih substantif lagi. Jika dicari ekstraksi/makna paling dalam dari istilah penyucian diri, integrasi diri, pemaknaan laku kerja akan berujung pada satu konsep yakni “pengendalian diri”. Adapun pengendalian disini adalah usaha untuk melawan ego dalam diri.
Bagaimana Hindu memandang ego? Mengutip dari Kamus Filosofi Hindu Britanica bahwa istilah ego dikenal dengan “ahamkara”. Dalam istilah Bahasa Sansekerta dimaknai “aku berkata,” atau “aku membuat”. Selanjutnya, dalam “samkhya” (salah satu aliran filsafat Hindu), “ahamkara” mengacu pada harga diri yang berlebihan atau egoisme.
Konsep ahamkara berasal dari empat macam istilah yang dikenal dengan “suksma sarira” atau badan halus yakni “citta”, “buddhi”, “manah” dan “ahamkara”. “Citta” adalah unsur yang paling dekat dengan atma (jiwa) itu sendiri. Bahasa ilmu psikologi dikenal dengan intuisi atau nurani. “Buddhi” adalah bagian kesadaran intelektual yang mengandung prinsip kebenaran. Adapun perasaan humanis yang membedakan jiwa manusia dibandingkan jiwa hewan dan tumbuhan adalah “buddhi” itu sendiri. Selanjutnya, “manah” adalah kehendak atau kemauan dari pikiran serta kemampuan untuk bertahan hidup di dunia. Sementara, “ahamkara” adalah ego atau pribadi diri yang dikendalikan oleh indria.
Sejatinya, pelaksanaan “catur brata penyepian” atau empat pertapaan yang dilaksanakan saat nyepi adalah wujud realisasi dari pengendalian ego itu sendiri. “Amati karya” atau tidak bekerja dimaknai sebagai membatasi ego manusia untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu untuk memenuhi indria. “Amati gni” artinya tidak boleh menghidupkan api. Adapun api sendiri adalah sumber kehidupan yang bisa digunakan untuk memasak dan menghasilkan makanan. Dengan tidak menyalakan api. Maka, kita diajarkan untuk menahan lapar. Mengendalikan keinginan untuk menikmati melalui indria. Selanjutnya,”amati lelungan” atau tidak boleh bepergian. Indria kita dibatasi agar duduk dan kontemplasi diri. Melihat ke dalam diri, bukan lebih sering melihat keluar. Terakhir adalah “amati lelanguan” atau tidak menikmati hiburan. Indria dilatih untuk seimbang dalam suka dan duka. Pada saat nyepi, indria diajarkan untuk menafikan keinginan untuk hanya menikmati suka dalam setiap laku kehidupan.
Apakah ego hanya terbatas pada ego pribadi?
Meminjam istilah Sadguru, seorang tokoh Hindu termasyur yang telah berkeliling hampir ke seluruh pelosok dunia memiliki konsep istilah “ego sosial”. Adapun ego sosial adalah ego yang ada pada masyarakat. Untuk setiap hal kecil, kadangkala seluruh masyarakat menjadi kesal. Misalkan saja pada musim panas di Amerika Serikat. Semua orang hampir tidak mengenakan apa-apa atau mungkin mereka mengenakan rok mini. Katakanlah ada seseorang yang berpakaian lengkap. Maka, orang-orang akan marah: “Apa yang dia lakukan? Kenapa dia tertutup semua?” Sementara, di lain sisi, di Asia dimana adab ketimuran itu masih relevan dalam kehidupan, jika ada seseorang yang berpakaian minim, masyarakat (kebanyakan) biasanya akan marah. Jadi, itu adalah jenis lain dari ego. Ego sosial-lah yang menjadi marah, dan karma kita menjadi bagian dari karma kolektif.
Situasi tersebut juga relevan terjadi di lingkungan kita (utamanya media sosial). Masyarakat kadang sangat mudah menjustifikasi negatif orang secara sosial tanpa mau mencari kebenaran dan validitas data orang tersebut. Sebuah contoh sederhana, jika ada seseorang melalukan kesalahan seperti terjerat kasus hukum. Maka, netizen akan menyerang linimasa akun seseorang tersebut dengan umpatan, cacian, hinaan dan lain sebainya. Tanpa memperdulikan proses hukum yang akan dilalui oleh seseorang tersebut. Netizen akan seenaknya saja memojokkannya sebagai oknum pendosa dengan kesalahan yang tak berhak terampuni. Netizen seakan memiliki hal melakukan apapun. Hal ini tidak perlu dicontohkan secara detail faktual karena kasusnya sangat banyak terjadi dan teramati.
Secara aplikatif, nyepi saat ini hendaknya juga harus dimaknai sebagai “genjatan senjata” berperang melawan ego sosial terutama di media sosial. Ego sosial harus diperangi karena keadaan medsos saat ini serba tak jelas. Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan 9.546 hoaks telah tersebar di berbagai platform media sosial di Internet. Data itu terangkum dalam kurun tiga tahun mulai Agustus 2018 hingga awal 2022. Hal itu menjadi bahan pertimbangan agar (netizen) mampu mengendalikan ego untuk tidak cepat-cepat menuduh pihak tertentu bersalah secara sosial.
Bukan hanya itu saja, ego sosial untuk menghakimi seseorang di balik akun tak jelas dan ketiadaan bertemu secara fisik juga harus dihindari. Masyarakat harus mengutamakan netiket. Istilah netiket sendiri adalah etika dalam ruang digital. Etika pada ruang medsos hendaknya sama pentingnya dengan etika di ruang nyata, bahkan bagaimana kita berperilaku di ruang digital harus selaras dengan kehidupan sehari-hari.
Menilik laporan dari Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah di Asia Tenggara. Di lain sisi, bangsa Indonesia pernah dinilai memiliki tingkat keramahan tinggi. Tetapi, di ruang medsos malah terjadi fakta sebaliknya. Hendaknya harus menjadi renungan bersama. Maka, Nyepi tahun ini harus dimaknai lebih substantif sebagai resolusi pengendalian ego pribadi dan sosial, bukan hanya pada tataran semarak ritus yang berlalu tiap tahun semata.
*Tulisan ini juga tersiar pada www.antaranews.com dan beberapa media lokal di Bali